Author:
Handayani Rini Sasanti,Yuniar Yuyun,Susyanty Andi Leny,Lestary Heny,Sugiharti Sugiharti
Abstract
Ministry of Health estimates there are 9,000 pregnant women HIV positive who give birth every year in Indonesia. HIV-positive pregnant women must get Anti Retroviral treatment with a minimum level adherence to the use of anti-retroviral drugs of 90 - 95% drug to get a response to suppresing the virus by 85% . Physiological changes during pregnancy and breastfeeding can affects the drug kinetics in pregnant and lactating women. In children, non-compliance can be caused by saturation, limited drug preparation for children, side effects and other diseases that accompany it. In this article, we will analyze the extent to which pharmacists act as counselors for HIV-AIDS treatment for mothers and children. Data were taken from 2 qualitative studies, namely Implementation Study of Prevention of mother-to-child transmission (PMTCT) Program at HIV-AIDS Referral Hospital in West Java Province in 2014 and Study on Access of HIV-AIDS and Opportunistic Infection Treatment for Children in Ten Districts of Indonesia in 2015. Data collection was carried out by in-depth interviews with pharmacists and doctors who handled pregnant women and children with HIV-AIDS. Data were analyzed using triangulation and content analysis method. The results showed that pharmacists had not been involved as drug counselors and support from the management of the hospitals did not yet exist, so the pharmacist could not yet as a counselor as a form of pharmaceutical services according to standards set by the government Therefore, the role of pharmacist as counselor needs to be improved, because the success of the treatment is highly dependent on the successful collaboration of doctors, nurses, and pharmacists. In order for the pharmacists play a role, it is necessary to get training on HIV-AIDS treatment. In addition, the government needs to advocate for hospital management to facilitate the pharmacist’s counseling as form of counselor.
Abstrak
Kementerian Kesehatan memperkirakan terdapat 9.000 ibu hamil HIV positif yang melahirkan di Indonesia setiap tahun. Ibu hamil dengan HIV positif harus mendapatkan pengobatan anti retroviral dengan minimal tingkat kepatuhan penggunaan obat Anti Retroviral sebesar 90 - 95% untuk mendapatkan respon penekanan jumlah virus sebesar 85%. Perubahan fisiologi selama kehamilan dan menyusui dapat berpengaruh terhadap kinetika obat pada ibu hamil dan menyusui. Pada anak, ketidakpatuhan dapat disebabkan karena jenuh, sediaan obat untuk anak yang terbatas, efek samping, dan penyakit lain yang menyertai. Pada artikel ini dianalisis sejauh mana apoteker berperan sebagai konselor pengobatan HIVAIDS pada ibu dan anak. Data diambil dari dua penelitian kualitatif yaitu penelitian Studi Implementasi Layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) pada Rumah Sakit Rujukan HIV-AIDS di Provinsi Jawa Barat Tahun 2014 dan Penelitian Akses Pengobatan HIV/AIDS dan Infeksi Oportunistik pada Anak di Sepuluh Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2015. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dengan apoteker dan dokter yang menangani ibu hamil dan anak dengan HIVAIDS. Analisis data dengan tri angulasi dan analisis konten. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa apoteker belum dilibatkan sebagai konselor obat dan dukungan dari pihak manajemen RS belum ada, sehingga apoteker belum dapat berperan sebagai konselor sebagai salah satu bentuk pelayanan kefarmasian sesuai standar yang telah ditetapkan pemerintah. Oleh karena itu peran apoteker sebagai konselor perlu ditingkatkan karena keberhasilan pengobatan sangat tergantung keberhasilan kolaborasi dokter, perawat,dan apoteker. Agar apoteker dapat lebih berperan maka perlu mendapatkan pelatihan tentang pengobatan HIV-AIDS. Selain itu pemerintah perlu melakukan advokasi kepada manajemen RS untuk memfasilitasi apoteker melakukan konseling sebagai bentuk konselor.
Publisher
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan