Abstract
<p>Regulasi otonomi khusus di Papua mengindikasikan bahwa sistem pengelolaan sumber daya alam di Papua pada prinsipnya terbuka bagi publik, bukan hanya nasional namun juga internasional; tergantung pada pihak mana yang mampu menyajikan efisiensi dalam kompetisi pengelolaan. Persoalan muncul ketika regulasi yang berlaku tersebut belum mampu secara maksimal dioperasionalkan oleh pemerintah dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat di Papua. Di lain pihak, situasi keamanan yang sangat rentan di daerah pegunungan Papua kerap menjadi kendala dalam optimalisasi perlindungan hak asasi manusia di Papua. Hal tersebut diperburuk dengan stigma negatif pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri di Papua yang seringkali diasosiasikan dengan pemisahan diri dari teritori Republik Indonesia. Tulisan ini mengangkat permasalahan utama yakni hubungan antara artikulasi pemegang hak menentukan nasib sendiri, dengan regulasi pengelolaan masyarakat hukum adat atas sumber daya alam dalam konteks otonomi khusus di Papua. Dalam menganalisis data kualitatif yang dikumpulkan, penulis menggunakan pendekatan hak asasi manusia, khususnya hak menentukan nasib sendiri, terhadap regulasi dan fenomena konflik agraria yang terjadi di Papua. Analisis dengan pendekatan ini akan mencoba menggambarkan hubungan antara pemegang hak dengan pemangku kewajiban dalam konsep hukum hak asasi manusia. Adapun penulis menyimpulkan bahwa kegagalan pemerintah dalam mengakomodasi eksklusivitas hak masyarakat adat Papua berawal dari keruwetan dalam mengejawantahkan hak menentukan nasib sendiri masyarakat Papua ke dalam bentuk regulasi, mulai dari undang-undang sampai pada peraturan daerah khusus. Fakta tentang konflik sosial di sektor agraria dan sumber daya alam yang marak terjadi di Papua merupakan indikasi awal, bahwa diperlukan sebuah reposisi tentang pengaturan hak masyarakat adat dalam pengelolaan agraria dan sumber daya alam.</p><p>Special autonomy regulation in Papua indicates us that natural resources management at the area is in principle open for public both nationally and internationally, depending on which party is capable in providing an efficient management. The problems occurred when such regulations has yet to be operated by the government in enhancing locals living. On the other hand, a very vulnerable security situation around the mountainous area seems to hinder the optimal protection of people’s right in Papua. These conditions were exacerbated by negative stigma of the exercise of the right to self- determination in Papua, which mostly associated with seccession from the Republic. This article attempts to describe the relation between the articulations of right to self-determination holders andthe regulations regarding local management on natural resources in the context of special autonomy. The present author concludes that the failure in acommodating the exclusive right of the Papuans was caused by the complication in translating right to self-determination of the Papuans into regulations, from undang-undang (acts) up to peraturan daerah khusus (special autonomy bylaws). The fact of rampant social conflicts in agrarian and natural resources field is an initial indication that there is a need in repositioning the law regulatiing people’s right to manage their own agrarian and natural resources.</p>
Publisher
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI
Subject
General Earth and Planetary Sciences,General Environmental Science
Cited by
2 articles.
订阅此论文施引文献
订阅此论文施引文献,注册后可以免费订阅5篇论文的施引文献,订阅后可以查看论文全部施引文献