Author:
Veriasa Thomas Oni,Daxoko Bambang Tri,Imron Novan Aji,Santosa Andri,Kosar Muhammad
Abstract
Di Pulau Jawa, pengelolaan hutan oleh masyarakat tidak dapat dipisahkan dari dinamika kebijakan yang dibuat oleh pemerintah . Transformasi kebijakan pengelolaan Hutan Jawa secara signifikan dimulai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang membagi kewenangan pengelolaan hutan untuk memperkuat kolaborasi multipihak dan desentralisasi tanggung jawab pengelolaan hutan termasuk Perhutanan Sosial. Pada pasal 112, peraturan ini menjelaskan tentang Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus di Pulau Jawa. Pada program Perhutanan Sosial kesenjangan yang “tinggi” terjadi pada aspek pendampingan dan pemanfaatan. Namun, kesenjangan “moderat” pengelolaan PS terjadi di seluruh aspek yang dinilai yaitu pendampingan, pemanfaatan dan keberlanjutan. Pada pendampingan, kesenjangan terjadi pada intervensi yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah tidak sebaik pada saat pra izin PS Beberapa hambatan mencakup kurangnya sumber daya pendamping dari pemerintah, tarik ulur wewenang tenaga pendamping dari pemerintah pusat dan daerah, serta perubahan regulasi yang cepat di tingkat pusat. Pada beberapa kasus studi, ditemukan persoalan inklusivitas pengelolaan hutan yang mana penerima izin bukanlah orang yang membutuhkan akses kelola sehingga menyebabkan kegiatan pengelolaan PS menjadi tidak fokus dan cenderung mandeg. Lebih luas persoalan inklusivitas berkaitan dengan desentralisasi pengelolaan hutan dan hambatan kerja-kerja multipihak. Walaupun regulasi terbaru mengatur soal desentralisasi pengelolaan hutan sampai ke tingkat provinsi, namun belum semua kabupaten memiliki perhatian yang serius untuk menjadikan PS sebagai bagian agenda pembangunan daerah. Pengelolaan PS yang terbuka pada kolaborasi dan pengarusutamaan masyarakat yang termarginalkan yang tepat sasaran akan mampu mengatasi ego-subjektif antar institusi, kapasitas sumber daya manusia dan persoalan penganggaran. Transformasi pengelolaan PS yang inklusif diperlukan untuk membuka keragaman aplikasi sistem kelembagaan berbasis lokal dan kebutuhan kontekstual pada tingkat daerah dan tapak (masyarakat) termasuk memastikan kelestarian dan keberlanjutan kawasan hutan.
Reference20 articles.
1. Bratamihardja M, Sunito S, Kartasubrata J. 2005. Forest Management in Java 1997-1999: Towards Collaborative Management (2005_1; ICRAF Southeast Asia Working Paper). http://www.worldagroforestrycentre.org/sea
2. Dwijanti R, Sutrisno J, Pujiasmanto B, Rahayu, E S 2018. Community-Based State Forest Management ( Social Forestry ) In Purworejo Regency Of Central Java Indonesia. Advances in Social Sciences Research Journal, 5(7).
3. Erbaugh JT. 2019. Responsibilization and social forestry in Indonesia. Forest Policy and Economics, 109 (October), 102019. https://doi.org/10.1016/j.forpol.2019.102019
4. Fischer HW, Chhatre A, Duddu A, Pradha N, Agrawal A. 2023. Community forest governance and synergies among carbon, biodiversity and livelihoods. Nature Climate Change, 1–8. https://doi.org/10.1038/s41558-023-01863-6
5. Fujiwara T, Septiana RM, Awang SA, Widayanti W T, Bariatul H, Hyakumura K, Sato N. 2012. Changes in local social economy and forest management through the introduction of collaborative forest management ( PHBM ), and the challenges it poses on equitable partnership : A case study of KPH Pemalang, Central Java, Indonesia. TROPICS, 20(4), 115–134. https://doi.org/10.3759/tropics.20.115